Selasa, 30 Juni 2009

WARISAN BANGSA INDONESIA

TAUKAH KAMU ? BAHWA

Penulis buku "Tahun 2015 Indonesia Pecah" Djuyoto Suntani, Presiden The World Peace Committee (WPC) membuat penasaran banyak sekali masyarakat Indonesia. Benarkah bangsa Indonesia akan pecah 7 tahun mendatang? Konon menurut buku tersebut bangsa Indonesia akan menjadi paling tidak 17 negara bagian pada usia 70 tahun Indonesia merdeka.

Hal yang mendasari penulis memprediksikan bahwa bagsa Indonesia pecah pada tahun 2015 memang cukup masuk diakal, terutama bila kita melihat realita yang terjadi saat ini. Kerentanan untuk perpecahan di beberapa daerah merupakan fenomena dan indikasi yang mengarah kepada prediksi sang Penulis.

Sempat terpikir dibenak saya, kira - kira bangsa manakah yang akan mnyerang Indonesia tahun 2015? Namun kita lebih sepakat bahwa bangsa ini tidak pecah akibat diserang oleh negara lain, namun karena konflik internal yang sekarang tidak kita sadari sedang menggerogoti sendi - sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedikit uraian dari "dongeng" tersebut adalah sebagai berikut. Di abad ke-6 dan 7 wilayah nusantara ini terbentuk sebuah kerajaan yang mayoritas masyarakatnya beragama Budha yang sangat megah dan besar, dimana masyarakatnya Gema Ripah, hidup dalam kesejahteraan dan kedamaian yang dikenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Namun Kerajaan Sriwijaya ini hanya berumur lebih kurang 70 tahun karena konflik internal kerajaan tersebut. Alhasil, kita hanya bisa mengenangnya dalam bentuk sejarah.

7 Abad kemudian, wilayah Nusantara ini kembali bisa dipersatukan oleh sebuah kerajaan Majapahit (abad ke 14), dimana masyarakatnya mayoritas beragama Hindu. Kerajaan Majapahit ini juga kerajaan yang Gema Ripah, masyarakatnya sangat sejahtera dan makmur. Sama seperti kerajaan Sriwijaya, kerajaan Majapahit sangat disegani kawan maupun lawan pada saat itu. Namun lagi - lagi ada konflik internal sehingga kerajaan ini kembali tenggelam ke laut yang paling dalam dan hanya bisa dilihat dari sejarah. Usia kejayaan kerajaan ini juga hanya sekitar 70 tahun. 7 Abad kemudian, wilayah Nusantara ini kembali bersatu dalam wadah bangsa Indonesia (abad 20 dan abad 21/masa sekarang) dan beberapa saat terjadi masa - masa keemasan bangsa Indonesia di dunia seperti pernah swasembada beras (negara agraria), bangsa ini juga bisa memproduksi pesawat melalui PT Dirgantara Indonesia serta pernah mendapat julukan sebagai Macan Asia. Penduduknya saat ini Mayoritas beragama Islam. Sepanjang hampir 70 tahun perjalanan bangsa Indonesia, sangat banyak ditemukan konflik internal di bangsa ini terutama pasca Reformasi 1 dekade lalu. Separatisme muncul dimana - mana, pertentangan idiologi oleh sekelompok orang juga masih marak hingga detik ini. Devide et impera merupakan indikasi yang bisa menghancurkan bangsa ini seperti prediksi pada buku tersebut.

Namun kita tidak terbatas pada pemikiran negatif akan pecahnya bangsa ini. Rasa nasionalisme merupakan salah satu kekuatan yang bisa menyelamatkan bangsa dari segala macam keterpurukannya. Namun tidak bisa dipungkiri proses menuju demokrasi yang sesungguhnya sama seperti melewati lubang jarum, penuh tantangan dan kesulitan. Setiap elemen bangsa harus bersatu sebagaimana dahulu para pendidi negara ini mau bersatu dan meninggalkan 4 warisan bangsa Indonesia yang masih dan akan terus kita pertahankan selama mungkin. Adapun 4 warisan tersebut anadalah sebagai berikut:

1. Bhinneka Tunggal Ika.

Bangsa kita terdiri dari berbagai macam suku, budaya dan adat istiadat bahkan agama yang dipandang bukan sebagai kelemahan, melainkan kekuatan untuk membentuk sebuah negara. Pernahkah kita membayangkan bila karena kepentingan satu kelompok saja (sebut saja Jawa) maka Bali dan Papua mungkin tidak akan masuk ke dalam wilayah Indonesia. Namun para pndiri bangsa ini sadar dan sangat bijak melihat kepentingan yang lebih besar sehingga mengakomodir kaum - kaum yang berdiam dari sabang sampai merauke. Hal ini bisa dilihat dari penentuan bahasa yang akan dipaki saat mereka akan membentuk sebuah negara. Logikanya adalah yang mayoritas pasti akan menguasai dan cenderung menginginkan kehendaknya. Pada saat perjuangan kemerdekaan, para pendiri bangsa ini mayoritas dari etnis Jawa, Sunda dan Ambon, namun bahasa yang digunakan sebagai bahasa negara saat itu justru berasal dari bahasa etnis Melayu yang jumlahnya lebih sedikit. Idealnya saat itu bahasa Jawa sangat berpeluang menjadi bahasa yang digunakan sebagai bahasa negara. Namun karena founders kita tersebut sangan bijaksana, maka bahasa Melayu yang merupakan bahasa Indonesia.

2. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mengapa disebut kesatuan? Wilayah Nusantara ini dahulu terdiri dari banyak sekali kerajaan - kerajaan. Wilayah Geografisnya yang berbentuk kepulauan merupakan penyebab banyaknya hubungan perdagangan antar kerajaan. Kemudian perasaan senasib akibat dijajah oleh kolonial Belanda merupakan alasan mereka untuk mengajukan suatu negara yang disebut NKRI.

3. Pancasila.

Sehari setelah merdeka bangsa ini segera menentukan dasar negara (idiologi) dan undang - undang dasarnya. Pada saat menentukan dasar negara, mereka sangat mungkin untuk mengakomodir Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Namun karena panitia BPUPKI tersebut ada yang beragama Nasrani (sebagian kecil), maka ditetapkanlah Pancasila sebagai dasar negara yang termaktub didalam UUD 1945.

4. UUD 1945.

Merupakan hasil perumusan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan Pancasila sebagai idiologi bangsa Indonesia.

Empat warisan tersebut merupakan kekuatan yang masih bisa diandalkan untuk mempertahankan NKRI. Dan sebagian besar bangsa Indoensia sebenranya masih menginginkan NKRI. Hal ini bisa dilihat dari olehraga. Saat Indonesia melawan Bahrain baru - baru ini, semua superter Indonesia bersatu, padahal sebelumnya antar klub sepakbola selalu berselisih. Intinya jumlah daerah yang memiliki "separatisme" jauh lebih sedikit daripada daerah yang masih menginginkan NKRI. Untuk itu hal yang perlu ditanamkan ke generasi sekarang adalah pemahaman idiologi Pancasila, agar tidak diganti menjadi idiologi yang lain. Kerukunan umat beragama dan semangat pluralisme harus tetap dijaga dan dikedepankan sebagai kekuatan bangsa. Menurut Pak Letjend (Purn) H.M.Yasin pemerintah sebaiknya melakukan kaji ulang untuk menerapkan Penataran Pedoman Penghayatan Pancasila (P4) sebagai salah satu wadah doktrinasi idiologi Pancasila. Sejak usia pelajar, anak - anak bangsa ini harus dijelaskan dan diberi pemahaman nasionalisme yang baik sehingga mempunyai loyalitas kepada NKRI.

Hari Kebangkitan Nasional merupakan peristiwa penting yang menjadi tonggak sejarah bangkitnya semangat kebangsaan yang ditandai oleh lahirnya gerakan budi utomo pada tanggal 20 Mei 1908.

Seorang bijak berpendapat, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai sejarah bangsanya.

politik, ekonomi, social dan budaya. Pada tahap perjuangan ini tumbuh kesadaran para tokoh dan pemimpin pergerakan akan pentingnya persatuan dan kesatuan perjuangan. Setiap tahap perjuangan bangsa memiliki nilai-nilai kejuangan yang sifatnya lestari.

Dalam perkembangan kehidupan bangsa yang akan berubah adalah nilai-nilai operasionalnya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Sebagai salah seorang warga bangsa Indonesia yang telah menikmati hasil perjuangan para pendahulu ( Founding Father ), harapan saya kedepan adalah menempatkan sejarah perjuangan bangsa sebagai sarana pembelajaran yang berkesinambungan dan pengalaman jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan bangsa secara nyata dalam menghadapi dinamika kehidupan yang akan terus berkembang dengan berbagai tuntutan dan tantangan yang semakin kompleks.Disinilah kita perlu menyadari bahwa baik dan buruknya suatu bangsa akan sangat ditentukan oleh seberapa besar komitmennya terhadap sejarah bangsanya.

Oleh karena itu, dalam menyikapi hari kebangkitan nasional sebagai sebuah tonggak sejarah kita seharusnya bisa menjadikan tonggak sejarah tersebut sebagai tongkat estafet semangat kebangsaan dari generasi ke generasi bangsa Indonesia, dimana setiap generasi harus mampu memelihara semangat kebangsaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ironisnya, semangat kebangsaan yang menjadi kebanggaan sejarah, dewasa ini semakin tipis terkikis oleh erosi kepentingan.

Kebangkitan Nasional merupakan tahap perjuangan

dalam bentuk pergerakan-pergerakan yang bersifat ideology,

TONGGAK

Secara umum, perjuangan bangsa kita untuk mencapai kemerdekaan bercorak amat lengkap. Ada upaya politik, sosial, dan budaya. Ada pula karya para pendiri republik yang sangat intelektual dengan banyak buah pikir ideologis yang amat bermutu. Juga ada perjuangan bersenjata.

Tak banyak bangsa terjajah yang memiliki kemampuan mengorganisasi perjuangan kemerdekaannya dalam arena politik, sosial, budaya, intelektual ideologis, diplomasi internasional, dan perjuangan bersenjata secara simultan seperti bangsa kita. Pada waktu itu, tersedia pula pilihan yang lebih aman dengan menyerahkan skenario masa depan yang dirancang penjajah.

Generasi pendiri bangsa dan negara kita memperlihatkan karakter bangsa pejuang yang ulet dan hebat, yang menolak didikte dan merancang sendiri skenario masa depan bangsanya.

Banyak yang menyatakan, para pendiri bangsa kita adalah the golden generation karena mereka bukan saja terdidik, tetapi juga tercerahkan dan memiliki semangat perjuangan yang amat besar untuk dengan percaya diri merebut kemerdekaan dan membangun kemandirian bangsanya.

Negara kebangsaan kita juga terbentuk atas upaya besar the founding fathers, yang tanpa kenal lelah, keluar masuk penjara memantapkan rasa kebangsaan Indonesia.

Tonggak pertama dan kedua

Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah peristiwa sejarah yang tak kalah nilainya dari proklamasi kemerdekaan. Tak banyak bangsa terjajah yang dapat melakukan hal ini; dengan kesadaran sendiri membentuk dan melahirkan bangsa terlebih dahulu sebelum negara.

Adapun proklamasi kemerdekaan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan 1945- 1949 adalah tonggak besar sejarah kedua. Revolusi kemerdekaan dilaksanakan ketika banyak negara terjajah yang lain menerima pemulihan kekuasaan kolonial di wilayah masing-masing tanpa melawan. Gerakan kemerdekaan Indonesia yang begitu hebat itu telah memberikan inspirasi kepada lebih dari 30 negara di Asia-Afrika untuk membebaskan dirinya dari penjajahan selepas Perang Dunia II.

Ketika merdeka pada tahun 1945, luas wilayah kedaulatan negara kita di darat seluas 1.900.000 km2 dan di laut hanya 240.000 km2. Hal ini disebabkan berdasarkan Hukum Internasional pada waktu itu, lebar laut teritorial suatu negara adalah 3 mil laut dari pantai, mengelilingi pulau. Di luar 3 mil adalah laut internasional sehingga saat itu wilayah negara kita dipisah-pisah oleh laut internasional.

Tonggak ketiga

Maka, lahirlah Deklarasi Juanda, 3 Februari 1957, yang mengklaim ”Konsep Nusantara”, yang menyatakan bahwa seluruh laut antarpulau Indonesia adalah laut kedaulatan negara Indonesia, tak peduli dalam dan jaraknya, sehingga wilayah negara RI bertambah menjadi sekitar 5 juta km2. Pada waktu itu, klaim ini ditentang dan tidak diakui secara internasional.

25 tahun kemudian, melalui diplomasi yang alot, akhirnya pada tahun 1982 di Konvensi Hukum Laut (Unclos) wilayah Indonesia diakui berupa seluruh Nusantara, ditutup dengan garis tertutup dengan lebar laut teritorial 12 mil laut dari batas terluar. Saat ini luas wilayah kedaulatan negara kita mencapai 5.193.250 km2, terdiri dari luas daratan 1.900.000 km2 dan luas lautan 3.166.163 km2.

Wilayah seluas itu masih ditambah wilayah hak penguasaan ekonomi berupa Zona Ekonomi Eksklusif (diukur 200 mil dari wilayah teritorial) seluas 2.700.000 km2 sehingga wilayah kedaulatan Indonesia menjadi daratan 1.900.000 km2 dan lautan 5.866.163 km2.

Sekarang negara kita memiliki 17.504 pulau, 9.634 pulau di antaranya belum memiliki nama. Panjang pantainya 80.791,4 km2, garis pantai tropis terpanjang dan terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Jadi, wilayah Indonesia lebih merupakan perairan dan kita termasuk negara dengan perairan terluas di dunia.

Kedudukan laut amat strategis dalam membangun persatuan dan kesatuan nasional. Tak berlebihan untuk menyatakan bahwa Deklarasi Juanda adalah tonggak besar ketiga dari sejarah nasional kita.

Adalah tugas setiap pemerintahan untuk mengantarkan negara bangsanya mewujudkan tonggak-tonggak besar sejarah selanjutnya. Namun, pada era sekarang ini, tak akan ada tonggak sejarah besar yang dapat kita capai tanpa prestasi di bidang ekonomi. Indonesia

WAWASAN

erosi nasionalisme Indonesia disebabkan karena benerapa faktor, pertama karena rendahnya kualitas SDM. Hal ini karena kurangnya pemimpin yang kuat dan mampu menginspirasi para anggotanya agar bersedia memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negaranya, serta kualitas sektor pendidikan yang jauh tertinggal. Kedua adalah masalah militansi bangsa, dimana militansi itu sendiri adalah semangat yang tinggi atau keteguhan untuk berjuang menghadapi kesulitan, dan secara psikologis terkait di dalamnya faktor motivasi yang sangat kuat. Dan yang ketiga adalah jati diri yang masih labil. Hal ini membuat bangsa Indonesia dianggap sebagai bangsa yang masih dalam proses pencarian jati diri (a nation in waiting).

Ada 2 masalah mendasar yang hendak diungkapkan yaitu pertama, wawasan kebangsaan bagaimana yang dimaksudkan setiap kita peringati pada tanggal 20 Mei? Kedua adalah apakah konsep wawasan kebangsaan ini masih relevan tertanam ke dalam sanubari setiap warga negara yang notabene mengantongi KTP Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini kembali ke hati kita masing-masing. Bukannya hendak menihilkan segala teori-teori tentang keberadaan suatu kebangsaan ataupun teori-teori tata negara yang berkonsep idealis tetapi hati nurani kita yang merasakan dan menilai perjalanan hidup kita selama berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit dipahami.

Marilah kita berandai-andai bahwa Indonesia sebagai suatu Negara telah hadir pada tanggal 20 Mei 1908 tersebut. Umur ini pun masihlah relatif muda jika kita bandingkan dengan keberadaan berbagai suku bangsa yang telah ada di Nusantara sejak ribuan tahun lalu. Juga kita bandingkan dengan negara-negara besar yang ada di dunia seperti Rusia, China, Amerika dan yang lain-lain telah berdiri jauh sebelumnya. Dari berbagai sumber yang ada, Indonesia secara resmi baru berdiri secara de-jure sejak 17 Agustus 1945 tetapi secara de-facto, artinya melihat kepada sudut wilayah kekuasaannya masih belum jelas secara pasti batas-batasnya di mana dan luas wilayahnya. Kemudian melalui perjanjian Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 disepakati antara pihak Indonesia dan Belanda bahwa wilayah kekuasaan RI meliputi Sumatera, Jawa dan Madura dan selanjutnya RI bersama Belanda akan membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama RIS, yang salah satu Negara bagiannya adalah RI. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Setahun kemudian pada tanggal 17 Januari 1948 ditanda tangani kembali suatu perjanjian yaitu Perjanjian Renville. Dalam perjanjian ini disepakati kembali wilayah kekuasaan RI secara de-facto dan de-jure hanya sekitar daerah Yokyakarta saja. Perjanjian Renville ini ditandatangani oleh Perdana Menteri Mr.Amir Syarifuddin dari Kabinet Amir Syarifuddin disaksikan oleh HA Salim, Dr.Leimena, Mr.Ali Sastroamidjojo (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal 155,163).

Dengan demikian Indonesia sebagai bangsa yang sangat muda masih perlu mencari jejak atau pondasi yang kuat dalam memahami apa yang disebut wawasan kebangsaan. Paham kebangsaan berkembang dari waktu ke waktu dan berbeda dalam lingkungan masyarakat dengan lingkungan lainnya. Pun jika berbicara masalah geografis, wilayah kekuasaan RI pun senantiasa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan keadaan pada zamannya hingga kini terbentuklah wilayah kekuasaan Indonesia dari Sabang hingga Merauke dimana masih belum begitu jelas bagaimana proses penggabungan wilayah-wilayah ini, merujuk pada masa-masa awal berdirinya RI.

Wawasan kebangsaan pada masa Presiden Soeharto diinduksikan ke dalam setiap warga Negara Indonesia pada saat penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang ditetapkan melalui keputusan TAP MPR no.II tahun 1978 dalam bentuk 36 butir Pancasila. Sejak SMP hingga masuk perguruan tinggi setiap pelajar harus mengikuti penataran P4 dengan tujuan mulia agar nilai-nilai Pnacasila yang luhur itu dapat diresdapi kemudian diamalkan. Berbagai macam pola penataran dikenal dalam P4 seperti pola 10 jam, pola 100 jam, seminggu atau 2 minggu. Salah satu materi dalam penataran ini adalah memberikan pelajaran agar setiap warga Negara mempunyai paham kebangsaan yang seragam, sebangun dan berasal dari sumber yang sama yaitu pemerintah. Tidak boleh ada tafsir berbeda, bisa-bisa kita dicap pemberontak jika coba-coba menafsirkan berbeda walaupun secara kaidah ilmiah benar. Seingat kami, dalam penataran kita di doktrin untuk mengenal yang namanya Indonesia belaka. Kemajemukan wilayah Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa harus lebur dalam satu identitas yaitu hanya Indonesia. Umumnya kita terpengaruh dengan dogma-dogma kebangsaan seperti itu sehingga yakin dan ingin memperkukuh identitas kebangsaan Indonesia dalam praktek kehidupan sehari-hari seperti melupakan pemakaian bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari, tidak memasukan unsur kebudayaan lokal dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan dan masih banyak lagi yang lain.

Kini setelah era Soeharto berlalu maka sadarlah kita tentang wawasan kebangsaan itu. Kita bisa berdebat apa saja tentang definisi dan makna wawasan kebangsaan. Bahkan kita juga bisa mempertanyakan keabsahan berdirinya BO sebagai organisasi pertama bumi putera karena sebelumnya telah berdiri organisasi bumi putera lainnya yaitu Sarekat Islam. Dari sisi keabsahan ini saja sudah muncul kecurigaan terhadap pusat terhadap apa maksudnya mencantumkan hari lahir BO sebagai rujukan hari Kebangkitan Nasional. Belum lagi kalau kita mendebatkan tentang makna KEBANGSAAN itu sendiri.

Apakah yang dimaksud dengan bangsa adalah suatu bentuk negara semata? Kalaupun ini kita sepakati kita juga harus ingat hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia dibentuk dari berbagai rumpun suku bangsa. Membicarakan bangsa artinya kita juga wajib membicarakan rumpun-rumpun suku bangsa yang ada di dalamnya. Suku bangsa membentuk mozaik negara sehingga tampak indah, bervariasi, saling memperkaya dan melengkapi. Konsekuensi dari membicarakan suku bangsa kita membicarakan nasib suku bangsa itu juga. Apakah suku bangsa tertentu telah hidup layak dalam negara Indonesia yang sudah merdeka selama 61 tahun. Atau jangan-jangan setelah bernaung dalam Negara kesatuan Indonesia dan mendapat kuliah wawasan kebangsaan berhari-hari ternyata kehidupan tidak membaik juga malah cenderung memburuk, ditandai dengan untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar air, listrik, pendidikan dan kesehatan saja tidak mampu.

Pusat umumnya dikenal sebagai daerah pulau Jawa sedangkan "daerah" lebih dikenal sebagai daerah-daerah di luar pulau Jawa. Pembagian sederhana ini hanya berdasarkan persepsi bahwa apa yang terjadi di pulau Jawa terutama di Jakarta dianggap merupakan dinamika yang terjadi di pusat. Berita-berita tentang peristiwa politik di Jawa, bencana di Pulau Jawa, kerusuhan dan sebagainya biasanya akan dianggap sebagai sesuatu yang datang dari pusat. Bagi mereka yang menguasai isu-isu daerah pulau Jawa maka dapat mengklaim dirinya sebagai pengamat nasional, barangkali lantaran pendapat-pendapat mereka dimuat di media nasional. Ini bukanlah upaya mempertentangkan antara pulau Jawa dan pulau lain namun semata-mata membicarakan realita yang berkembang minimal di daerah. Dalam konteks penyebaran informasi demikian juga yang terjadi. Semua berita-berita dari pulau Jawa dengan mudah mengalir ke daerah-daerah bahkan daerah terpencil sekalipun, memakai parabola misalnya. Perusahaan-perusahaan nasional pun berbasis di pulau Jawa walau mencari makan di daerah. Tidak ketinggalan juga pemerintah pusat tetap mempertahankan kekuasaannya yang mulai di perkecil dalam otonomi daerah, ke tingkat provinsi. Untuk yang satu ini kasus Aceh dapat dijadikan pelajaran dimana Aceh yang sudah berwenang mengatur pemerintahannya sendiri sesuai dengan MoU Helsinki ternyata wewenangnya tetap sama seperti provinsi yang lain. Hal ini terlihat dari draft Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan yang disusun oleh mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra

Namun lihatlah sebaliknya. Berbagai peristiwa politik, bencana, kerusuhan bahkan informasi yang datang dari daerah biasanya akan dianggap sebagai peristiwa "daerah" belaka dan jika ada orang yang menguasai isu-isu ini maka akan disebut sebagai pengamat lokal. Ketimpangan-ketimpangan inilah menjadi salah satu pemicu disharmonisasi antara pusat dan daerah sehingga membuat kita harus merumuskan kembali apa yang dimaksud dengan wawasan kebangsaan.

Wawasan kebangsaan dalam prakteknya seharusnya bersifat setara antara satu daerah dengan daerah lain. Daerah yang juga merupakan penyusun negara ini harus mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang dan mempunyai kemampuan untuk melayani masyarakatnya dengan layak. Kita tentu tidak ingin membuat semua daerah harus mempunyai keadaan atau situasi yang serba sama seperti suatu negara komunis yang sama rata-sama rasa. Minimal jurang yang terbentang antara daerah dan pusat tidak terlalu jauh seperti sekarang ini. Seorang anak bangsa tidak akan nyaman berbicara tentang wawasan kebangsaan jikalau melihat bangsanya sendiri hidup serba keterbatasan padahal di daerah lain yang diklaim sebagai daerah pusat segala fasilitas tersedia. Nikmatkah kita berbicara tentang wawasan kebangsaan pada seorang penduduk kampong yang harus setiap hari menyeberangi sungai dengan rakit padahal di daerah lain ada jembatan yang tidak ada sungai yaitu jalan layang. Padahal sama-sama bangsa Indonesia

Ada satu hal menarik tentang paham kebangsaan di antara Bapak pendiri Indonesia. Mohammad Hatta pernah mengatakan bahwa sulit memperoleh kriteria yang tepat apa yang menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada kesamaan asal, persamaan bahasa dan persamaan agama. Menurut Hatta kembali, "bangsa ditentukan oleh sebuah keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak" (Mohammad Hatta; beberapa pokok pikiran; Jakarta UI-Press, 1992). Pemahaman ini terasa pas saat melihat situasi fatual berbagai daerah. Sepertinya Hatta lebih jujur dalam memandang kebangsaan, tidak memanipulasi pikiran dan konsepnya relevan sepanjang masa.

Hari ini banyak pengamat nasional atau ahli wawasan kebangsaan yang mengeluhkan tentang wawasan kebangsaan yang mulai pudar di masyarakat. Banyak anak muda tidak hafal lagu Indonesia Raya, tidak tahu nama-nama pahlawan, suka meminta bantuan kepada bangsa asing, meminta otonomi lebih besar dan lain sebagainya, demikian katanya. Namun ini semua seharusnya sudah dapat ditebak akan terjadi mengingat perlakuan Negara terhadap warga. Merujuk kepada pernyataan bung Hatta bahwa adanya kesamaan nasib antara semua anak bangsa maka kita menyadari bahwa hal ini sudah tidak terdapat lagi di Indonesia. Jika hal ini dapat kita perkecil dan negara dapat melayani warganya sebaik mungkin, mudah-mudahan wawasan kebangsaan akan menguat kembali di hati sanubari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar